BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Makalah
Islam adalah agama yang
kompleks dan dinamis, segala hal semuanya sudah diatur sedemikian rupa salah
satu aturan dalam islam tersebut termaktub dalam ilmu fiqih muamalah.
Didalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik
perekonomian, sosial kemasyarakatan, politikbernegara, serta lainnya.
Para ulama mujtahid
dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka tidak
henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia dari fenomena
dan permasalahan tersebut di atas dasar ushul syariat dan kaidah-kaidahnya.
Yang bertujuan untuk menjelaskan dan menjawab hukum-hukum permasalahan tersebut
supaya dapat dimanfaatkan pada masamasanya dan setelahnya, ketika lemahnya negara
islam dan kaum muslimin dalam seluruh urusannya, termasuk juga masalah fiqih
seperti sekarang ini.
Dikerenakan luasnya
bahasan mengenai fiqih muamalah ini, maka perlu kiranya kami membatasi masalah
yang akan kami sampaikan nantinya, secara garis besar batasan masalah kelompok
kami seputar defenisi, pembagian, ruang lingkup, sumber dan prinsip-prinsip
hukum fiqih serta kaidah-kaidah fiqih muamalah.
B.
Rumusan Masalah
A.
Pengertian Fiqih Muamalah
B.
Ruang Lingkup Fiqih Muamalah
C.
Pembagian Fiqih Muamalah
D.
Sumber Dan Prinsip Hukum Fiqih Muamalah
E.
Kaidah-Kaidah Fiqih Muamalah
BAB II
FIQIH MUAMALAH
A.
Pengertian Fiqih Muamalah
fiqih muamalah terdiri atas dua kata, yaitu fiqih dan muamalah. Agar
definisi fiqih muamalah lebih jelas,
terlebih dahulu akan di uraikan sekilas tentang pengertian fiqih
1. fiqh
menurut
etimologi(bahasa) fiqih adalah ( ا لفهم ) paham, seperti pernyataan : (فقهت اللا ر س )
saya paham pelajaran itu.
Menurut terminologi, fiqh pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang
mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah, akhlak, maupun amaliah
(Ibadah) , yakni sama dengan arti syari’ah islamiyah. Namun, pada perkembangan selanjutnya, fiqh di
artikan bagiah dari syari’ah islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum
syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal
sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.
Kesimpulan : Fiqh itu ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syari’at
Islam yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci
2. muamalah
menurut etimologi, kata muamalah ( المعا مله ) adalah bentuk masdar dari kata amala ( عا مل - يعا
مل - معا مله ) wajarnya adalah ) فا عل – يفا عل – مفا عله)
yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling beramal.
3. pengertian fiqih muamalah
Fiqih Mumalah adalah pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang
berdasarkan hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya
yang diperoleh dari dalil-dalil islam secara rinci[1]
B.
Ruang Lingkup Fiqih
Muamalah
1. ruang lingkup muamalah adabiyah
hal-hal yang termasuk ruang lingkup muamalah adabiyah adalah ijab dan
kabul, saling meridai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan
kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala
sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran
harta.
2. Ruang lingkup muamalah madiyah
a.
Jual beli
b.
Gadai
c.
Jaminan dan tanggungan
d.
Pemindahan utang
e.
Sewa menyewa
f.
Upah
g.
Gugatan
h.
Sayembara
i.
perkongsian
j.
Pembagian harta
waris/kekayaan bersama dll[2]
Kesimpulan : Ruang lingkup fiqih muamalah adalh seluruh kegiatan muamalah
manusia berdasarkan hukum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang
berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah.
hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam
kaitannya dengan hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan hubungan
manusia dengan manusia lainnya.
C. Pembagian Fiqh Muamalah
Penetapan pembagian fiqih muamalah yang dikemukakan ulama fiqih sangat
berkaitan dengan definisi fiqih muamalah yang mereka buat, yaitu dalam arti
luas atau dalam arti sempit. Ibn abidin, salah seorang yang mendefinisikan
fiqih muamalah dalam arti luas,
membaginya menjadi lima bagian :
1. muawadhah maliyah ( hukum kebendaan )
2. munakahat ( hukum perkawinan )
3. muhasanat ( hukum acara )
4. amanat dan ‘aryah ( pinjaman)
5. tirkah ( harta peninggalan )[3]
D. Sumber Dan Prinsip
Hukum Fiqih Muamalah
1. Sumber-Sumber Fiqih Muamalah
Sumber-sumber fiqih
secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqli yang berupa
Al-Quran dan Al-Hadits, dan dalil aqli yang berupa akal (ijtihad). Penerapan
sumber fiqih islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits dan ijtihad.
a. Al Qur’an
Al-Quran adalah kitab
Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki
tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akhirat.
Al-Quran merupakan referensi utama umat islam, termasuk di dalamnya masalah
hukum dan perundangundangan.
Sebagai sumber hukum
yang utama, Al-Quran dijadikan patokan pertama oleh umat islam dalam menemukan
dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan.
Ayat Al Qur’an yang
membahas tentang Muamalah ini bisa kita lihat pada surat QS. Al-Baqarah: 188:
wur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t È@ÏÜ»t6ø9$$Î (#qä9ôè?ur !$ygÎ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)Ìsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
188. dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t È@ÏÜ»t6ø9$$Î HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î $VJÏmu ÇËÒÈ
29. Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.
b. Al Hadits
Al-Hadits adalah segala
yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan,perbuatan,maupun
ketetapan. Al-Hadits merupakan sumber fiqih kedua setelah Al-Quran yang berlaku
dan mengikat bagi umat islam.
c. Ijma dan Qiyas
Ijma’ adalah
kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’,
maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau
ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan
kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan qiyas adalah kiat untuk
menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an
maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat
dalam nash.
2. Prinsip Hukum Fiqih Muamalah
Sebagai sistem kehidupan,
Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali
dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi
dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan
oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme.
Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi
terdapat sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah.
Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah juga sangat konsen
terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar dan hukum fiqh muamalah
adalah sebagai berikut :
1. Hukum asal dalam muamalat adalah mubah
2. Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
3. Meninggalkan intervensi yang dilarang
4. Menghindari eksploitasi
5. Memberikan toleransi dan tanpa unsur paksaan
6.
Tabligh, siddhiq, fathonah amanah sesuai sifat Rasulullah
E. Kaidah-Kaidah Fiqih Muamalah
1.
الأَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ دَلِيْلٌ
عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Hukum asal semua
bentuk muamlah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang Mengharamkannya.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada
dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah
dan Musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Kecuali yang tegas-tegas
diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba[4]
2.
الأَصْلُ فِي العَقْدِ رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا
إِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَا قُدِ
“Hukum asal dalam
transaksi adalah keridhaan Kedua belah pihak yang Berakad, hasilnya adalah
berlaku sahnya yang dilakukan.”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi
barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya.
Tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau
dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling
meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang
keridhaannya, maka akd tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang
merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
Ungkapan yang lebih
singkat dari Ibnu Taimiyah:
الأَصْلُ فِي العُقُودْ رِضَا المُتَعَاقِدَ يْنِ
“Dasar dari akad adalah
keridhaan kedua belah pihak.”
3.
لاَ يَجُورُ لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ
“Tiada seorang punboleh
melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta.”
Atas dasar kaidah ini,
maka si penjual haruslah pemilik barang yang di jual atau wakil dari pemilik
barang atau yang yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain
pada barang yang dijual[5]
4.
البَا طِلُ لاَ يَقْبَلُ الإِجَازَةَ
“Akad yang batal tidak
menjadi sah karena dibolehkan.”
Akad yang batal
dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena
itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak.
Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain
yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak
lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional.
Akad baru sah apabila lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad yang
diperlakukan pada bank syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa
menggunakan sistem bunga.
5.
الإِجَازَةُ اللاَحِقَةِ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ
“Izin yang datang
kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih
dahulu.”
Seperti telah
dikemukakan pada kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh
bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pamiliknya. Tetapi
berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik
orang lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum
itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik
harta.
6.
الأَجْرُ وَالضَّمَانُ لاَ يَجْتَمِعَانِ
“Pemberian upah dan
tanggung jawab untuk mengggannti kerugian tidak berjalan bersamaan.””
Yang disebut dengan
dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang
yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang
tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
Contoh, seorang penyewa
kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya
untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut
rusak berat. Maka, si penyewa harus menganti kerusakan tersebut dan tidak perlu
membayar sewaannya[6]
7.
الجَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Manfaat suatu benda
merupakan faktor pengganti kerugian.”
Arti asal al-kharaj
adalah sesuatu yang di kkeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti
pohon mengeluarkan buah atau benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan
buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
Contonya, seekor
binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak
boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang
tadi sudah menjadi hak pembeli.
8.
الغَرْمُ بِالغَنْمِ
“Resiko itu menyertai
Manfaat.”
Maksudnya adalah bahwa
seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko. Biaya notaris
adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk
ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang maka
dia wajib mengembalikan barang dan resiko ongkos-ongkos pengembaliannya.
Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan kepada
pemilik barang.
9.
إِذَا بَطَلَ الشَّيْئُ
بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ
“Apabila sesuatu akad
batal, maka batal pula yang ada dalam tanggunggannya.”
Contohnya, penjual dan
pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan
si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual
beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual
terhadap harga barang menjadi batal. Artinya si pembeli harus mengembalikan
barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnnya.
10.
العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
“Akad yang objeknya
suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut.”
Objek suatu akad bisa
berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa manfaat suatu
barang seperti sewa-menyewa. Bahkan sekarang, objeknya bisa berupa jasa seperti
jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat
dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
11.
كُلُّ مَايَصِحُّ تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المُعَاوَضَاتِ فَلاَ يَصِحَّ
تَوْقِيْتُهُ
“Setiap akad Mu’awadhah
yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara.”
Akad mu’awadhah adalah
akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki hak dak
kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan
barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain, yaitu pembeli
berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang
dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya,
sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka
bukan jual beli tapi sewa menyewa.[7]
12.
الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ
بَاطِلٌ
“Setiap perintah untuk
bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal.”
Maksud kaidah ini
adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang
lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal.
Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk
menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.
13.
لاَيَتِمُّ التَّبرُّعث إِلاَّ بِالقَبْضِ
“Tidak sempurna akad
tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang.”
Akad tabarru’ adalah
akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah.
Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.
14.
الجَوَازُ الشَّرْعِي يَنَافِي الضَّمَانِ
“Suatu hal yang
dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”
Maksud kaidah ini
adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau
meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A
menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh
ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti
rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh
syariah.[8]
15.
لاَيُنْزَعُ شَيْءٌمِنْ يَدٍ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقّ ثَابِتِ
“Sesuatu benda tidak
bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang
telah tetap.”
16.
كُلُّ قَبُولٍ جَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ
“Setiap
kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”
Sesungguhnya
berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa,
dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan
tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang
ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.
17.
كُلُّ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ
جَائِزٌ
“Setiap syarat untuk
kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut
dibolehkan.”
Contonya seperti dalan
gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam
waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat
kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
18.
كُلُّ مَاصَحَّ الرَّهْنُ بِهِ صَحَّ ضَمَا نُهُ
“Setiap yang sah
digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
19.
مَاجَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ
“Apa yang boleh dijual
boleh pula digadaikan.”
Sudah barang tentu ada
kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi tidak boleh
digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.
20.
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap pinjaman dengan
menarik manfaat (oleh Kreditor) adlah sama dengan riba.”
Kadi Abd al-Wahab
Al-Maliki dalam kitabnya, al-isyraf, mengungkapnya dengan:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap pinjaman dengan
menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram.”
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
a.
Pengertian Fiqih Muamalah
Fiqih Mumalah adalah
pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan hukum-hukum
syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari
dalil-dalil islam secara rinci
b.
Ruang Lingkup Fiqih Muamalah
ruang lingkup muamalah itu terbagi dua yaitu :
1. ruang lingkup muamalah adabiyah
2.Ruang lingkup muamalah madiyah
c.
Pembagian Fiqih Muamalah
Ibn abidin, salah seorang yang mendefinisikan fiqih muamalah dalam arti luas, membaginya menjadi lima
bagian :
1. muawadhah maliyah ( hukum kebendaan )
2. munakahat ( hukum perkawinan )
3. muhasanat ( hukum acara )
4.
amanat dan ‘aryah (
pinjaman)
5.
tirkah ( harta peninggalan
)
d.
Sumber Dan Prinsip Hukum Fiqih Muamalah
Sumber-sumber fiqih secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil
naqli yang berupa Al-Quran dan Al-Hadits, dan dalil aqli yang berupa akal (ijtihad).
Penerapan sumber fiqih islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits
dan ijtihad.
kaidah dasar dan hukum
fiqh muamalah adalah sebagai berikut :
1. Hukum asal dalam muamalat adalah mubah
2. Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
3. Meninggalkan intervensi yang dilarang
4. Menghindari eksploitasi
5. Memberikan toleransi dan tanpa unsur paksaan
6.
Tabligh, siddhiq, fathonah amanah sesuai sifat Rasulullah
B. Kritik dan Saran
Penulis
menyadari bahwa sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, tentu makalah ini
tidak luput dari kekurangan dan kesalahan dari segala sisinya. Oleh karena itu,
penulis menerima kritik dan saran dari pembaca, yang tentunya menjadikan makalah ini menjadi lebih baik.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pambaca dan Allah SWT meridhai hasil makalah
ini. Amin Ya Rabbal Alamin.
[1]
Rachmat
Syafei. Fiqih muamalah. ( bandung: pustaka setia,2001 ). Hlm 13-15
[2]
Rachmat syafei. Fiqih muamalah. (bandung : pustaka setia,2001) hal.17-18
[4] Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang
Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), Ed.1, cet.1. h. 128-137.
[5]
Ibid, hal. 129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar